"Mencintailah dengan tulus tanpa berharap." |
Kemarin saya menonton Arsenal, tim sepak bola kesayangan saya bermain. Pertandingannya disiarkan secara langsung, Arsenal vs Manchester City. Hasilnya? Arsenal kalah 0-3 dari Manchester City. Namun, bukan kekalahan itu yang akan saya bahas, tapi respon saya atas kekalahan “tim kesayangan saya” tersebut. Di akhir pertandingan, saya lebih cenderung menyalahkan dan menjatuhkan tim kesayangan saya tersebut, daripada memberikan support untuk membantunya bangkit. Apakah itu adalah respon kekecewaan saya? Mungkin, tapi saya tahu respon ini bukanlah untuk membangun Arsenal agar lebih baik lagi. Lalu, kenapa saya bisa begitu mudah “menjatuhkan”, meskipun hanya sesaat, tim kesayangan saya tersebut.
Saya lalu berpikir, kenapa saya mengharapkan Arsenal menang? Apakah itu untuk kebahagiaan “tim Arsenal” itu? Atau untuk kebahagiaan saya? Yah, secara jujur, saya mengharapkan Arsenal menang untuk kebahagiaan saya, yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Jadi, kalau Arsenal kalah, maka Arsenal telah merenggut “kebahagiaan saya” tersebut. Maka, sebagai respon, saya menghibur diri saya dengan “menjatuhkan” Arsenal yang tidak memberikan saya kebahagiaan.
Dari peristiwa itu, saya mulai berpikir hal yang saya angkat di awal tulisan. Kenapa orang bisa membenci orang yang dicintainya? Jawaban saya adalah, karena orang tersebut tidak mencintai dengan tulus (dan memang sangat sulit untuk mencintai dengan tulus). Dia mencintai seseorang karena orang tersebut memberikan kebahagiaan kepadanya. Maka, ketika orang tersebut tidak lagi memberikan kebahagiaan, dia berhenti mencintai orang tersebut. Pada kasus ekstrem, dia malah berbalik membencinya.
Berhati-hatilah jika kamu terlalu mencintai seseorang sampai kamu menginginkannya jadi milikmu. Kemungkinan besar, ketika kamu telah merasa dia menjadi milikmu dan tiba-tiba dia tidak lagi menjadi milikmu, kamu akan berhenti mencintai dia. Mengasihi seseorang dengan tulus adalah mengasihi untuk membuat dia bahagia, dan kebahagiaan dia yang menjadi kebahagiaan kita. Bagaimana jika dia tidak membuat kita bahagia? Jika kasih tersebut tulus, sepanjang dia dapat bahagia, meskipun kita tidak bahagia, kita akan tetap mengasihi dia. Inilah kasih yang tulus, yang sangat jarang ditemui oleh manusia. Namun, Tuhan telah menunjukkan kasih-Nya yang tulus kepada kita.
“Kasihilah manusia seperti kamu mengasihi dirimu sendiri”. Ternyata perintah ini sulit sekali dilakukan, karena kita terlalu mengasihi diri kita sendiri. Namun, marilah kita bersama-sama berusaha untuk saling mengasihi satu sama lain, dengan tulus.
“hati-hati dengan perasaan kamu. orang yang paling kamu sayangi mungkin akan menjadi orang yang paling kamu benci, dan orang yang paling kamu benci mungkin akan menjadi orang yang paling kamu sayangi.”
Posting Komentar